Potret Sekolah Dewasa ini
Kecurangan tersistem selama Ujian Nasional yang difasilitasi guru, dan pembelajaran yang diabdikan untuk ujian2, serta formalisme kronis telah membuat sekolah menjadi ladang pembantaian karakter murid, dan pengasingan murid dari lingkungan masyarakatnya. Alih-alih menjadi solusi, sekolah saat ini telah menjadi bagian dari masalah. Kehadiran ICT telah dan sedang serta akan mengubah permainan, termasuk pendidikan. Posisi sekolah akan berubah untuk selama-lamanya. Siapapun harus menyesuaikan diri, terutama guru. Jika tidak, baik sekolah maupun guru akan menjadi dinosaurus, kehilangan relevansi. Pendidikan jelas bukan persekolahan, dan belajar bukan sekedar untuk lulus ujian. Kita membutuhkan pemahaman baru tentang pendidikan, dan belajar agar warga muda kita mampu menyongsong masa depan secara kreatif. Pemahaman baru ini menuntut perubahan mendasar dalam kebijakan dan praksis pendidikan di masa depan.
Berbagai persoalan pendidikan, sejak gedung sekolah ambruk, keterlambatan pencairan BOS, RSBI yang diskriminatif, kecurangan Ujian Nasional, sampai sertifikasi guru model PLPG yang amburadul cukup banyak menyita perhatian banyak kalangan. Lalu solusi yang dilakukan Pemerintah adalah dengan menambah anggaran pendidikan. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah peningkatan anggaran persekolahan. Banyak orang tidak berpikir bahwa berbagai persoalan itu muncul justru karena adanya sekolah. Kepercayaan masyarakat pada sekolah menurun sehingga sekarang muncul gerakan homeschooling. Potret pendidikan Indonesia saat ini hampir sama dengan pendidikan di Amerika Latin yang digambarkan oleh Ivan Illich pada tahun 1970-an melalui bukunya ‘Deschooling Society”.
Pendidikan saat ini diartikan sebagai persekolahan dengan semua formalismenya yang sering dibangga-banggakan. Wajib belajar diartikan sebagai wajib sekolah. Sekolah berusaha keras memberi pesan dan kesan sebagai satu-satunya tempat belajar. Anak usia sekolah dilarang bekerja karena bekerja dianggap tidak belajar. Banyak dari kita saat ini sekolah sejak TK sampai perguruan tinggi, lalu setelah lulus baru mencari pekerjaan. Sekolah telah menjadi industri sendiri dengan aturan-aturannya yang kaku. Formalisme ini justru mengurangi daya serapnya terhadap kebutuhan murid yang beragam. Murid harus menyesuaikan kurikulum yang seragam, bukan kurikulum yang menyesuaikan dengan kebutuhan murid. Pendekatan industri ini mengundang bahaya laten yang tidak disadari, karena seperti juga industri lainnya, sekolah sebagai industri memiliki siklus : bayi, tumbuh remaja, dewasa, matang, dan mati.
Syarat ijazah diberlakukan untuk banyak jabatan-jabatan publik, terutama pegawai negeri. Inilah barangkali alasan terpenting mengapa sekolah masih ada dan dikunjungi murid : untuk mengisi lowongan PNS. Dalam perspektif sejarah, memang sekolah-sekolah kita tidak banyak berubah sejak masa kolonial : menyediakan pegawai bagi pemerintah penjajahan. Tidak ada alasan lain yg lebih penting. Lihat bagaimana rekrutmen PNS menjadi ajang sogokan. Bahkan di daerah ada layanan Bimbel agar lolos tes PNS !
Beberapa tahun terakhir ini kita menyaksikan sekolah menjadi bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi. Tidak sedikit guru mengajarkan kebohongan justru di sekolah. Sing jujur malah ajur. Guru lebih mengharapkan jawaban yang benar dari murid-muridnya, bukan jawaban yang jujur. Menyontek dianggap biasa. Banyak kekerasan justru terjadi di sekolah secara fisik maupun non-fisik. Guru lebih mudah marah bila murid datang tidak berseragam daripada jika ia tidak membawa buku.
Sekolah hanya tempat guru mengajar, bukan tempat murid belajar. Sekolah menjadi penjara, ruang yang sempit bagi ekspresi multi-ranah dan multi-cerdas. Boleh dikatakan tidak banyak kompetensi yang bisa dipelajari di sekolah. Kreatifitas dimatikan, penjelajahan gagasan-gagsan baru tidak terjadi. Semakin lama bersekolah justru semakin tidak mandiri, semakin mudah menganggur. Jumlah pengangguran sarjana meningkat tajam.
Sekolah menjadi bagian penting mengapa klas menengah kita konsumtif, bukan produktif. Di sekolah, mentalitas pegawai justru ditumbuhsuburkan oleh guru. Banyak guru gagal menjadi teladan manusia yg berpikir bebas, dan mandiri. Desain pendidikan kolonial masih menjadi grand design pendidikan kita. Bahkan IKIP beberapa tahun silam malu melahirkan guru, lalu “pura-pura” berubah jadi universitas.
Sekolah juga berhasil mengasingkan murid dari lingkungannya. Anak petani yang pintar diberi beasiswa masuk ke fakultas pertanian. Setelah lulus dia tidak mau jadi petani. Ini juga terjadi di masyarakat nelayan. Petani dan nelayan kita makin menua, dan daerah semakin ditinggal pemuda-pemudanya yang berbakat untuk bekerja di kota2 besar, menjadi pegawai di perusahaan-perusahaan besar atau pegawai negeri.
Dalam perspektif evolusi kelembagaan, sekolah hanyalah kreasi kelembagaan masyarakat yg usianya belum 150 tahun. Kita baru mengenal sekolah di akhir abad 19 atau awal abad 20, terutama akibat Politik Etis Belanda. Sekolah-sekolah Belanda dirancang untuk merekrut pegawai (negeri) untuk kepentingan penjajahan. Sebelumya yang kita kenal adalah pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan yang non-formal, bahkan informal. Mentor-mentor Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, dsb. seperti HOS Tjokroaminoto, Hasyim Asyhari, Ahmad Dahlan, dan Agus Salim, kebanyakan adalah otodidak yang senang membaca, menulis, dan bicara di samping aktivis pergerakan. Dulu orang pagi bekerja atau magang, sore atau malam mondok. Dunia kerja dan belajar tidak dipisahkan secara tegas. Belajar diniyatkan untuk meningkatkan kualitas pekerjaan yang sedang digeluti, tidak untuk memperoleh ijazah untuk melamar pekerjaan.
Redefinisi Pendidikan
Tentu tampak agak menggelikan untuk memecahkan banyak masalah pendidikan kita justru dimulai dengan mendefinisikan kembali apa yang dimaksud dengan pendidikan. Ini pertama untuk menyelamatkan pendidikan dari reduksi persekolahan. Kita akan lihat bahwa untuk mendidik kita tidak perlu mensyaratkan sekolah. Semua tempat bisa menjadi tempat belajar, semua orang menjadi guru sekaligus murid. Ki Hadjar Dewantoro mendefinisikan pendidikan sebagai ngerti, ngroso, nglakoni (memahami, merasakan, melakukan).
Jelas praktek pendidikan saat ini telah direduksi menjadi sekedar ngerti. Peminggiran pendidikan seni dan olahraga, misalnya, jelas meminggirkan ngroso. Persekolahan kita juga tidak menghargai nglakoni (praktek dan pengalaman). Pendidikan kita direduksi menjadi semakin informasional, miskin praktek pengalaman (experiential). Banyak pihak menyangka dengan menambah jam pendidikan Pancasila, murid-murid akan semakin Pancasilais. Bahkan pendidikan semakin jauh dan kering dari berkarya dalam perspektif makership (membuat sesuatu dengan tangan), sehingga pendidikan vokasi dianggap lebih rendah daripada pendidikan akademik.
Konsep pokok dalam pendidikan adalah belajar. Kita sering mendengar mantra learning to know, to be, to do, and to live together in peace and harmony. Praktek pendidikan kita saat ini jelas amat jauh dari mantra universal ini. Belajar dapat dipahami sebagai proses memaknai pengalaman, sedang pengalaman adalah dongeng tentang aku dan sekelilingku. Untuk menkonstruksikan pengalaman, kita membutuhkan 3 konsep pokok : aku, waktu, dan ruang. Tanpa “aku”, seseorang tidak bisa membangun pengalaman, ngerti dan ngroso. Kepekaan waktu dan ruang diasah dengan nglakoni. Dan tanpa pengalaman, seseorang tidak bisa belajar. Proses memaknai pengalaman ini dilakukan dengan mengikuti sebuah siklus belajar : alami-baca-tulis-bicara.
Konstruksi pengalaman akan lengkap dengan memperkenalkan konsep keempat, yaitu “Tuhan”. Tuhan adalah esensi, sedangkan alam adalah simbol atau tanda-tanda Tuhan. Membaca, menulis, dan bicara adalah tahapan pembelajaran simbolik yang penting. Namun harus segera dicatat bahwa akhirnya tujuan belajar adalah untuk memperbaiki praktek yang member pengalaman multi-ranah multi-cerdas. Tradisi dibangun dan dimutakhirkan melalui siklus belajar ini.
Membaca merupakan penciri kita sebagai makhluq simbolik yang hidup tidak hanya di dunia fisik, tapi juga di dunia simbol. Kapasitas simbolik inilah yang memungkinkan kita melakukan abstraksi dan imajinasi yang dibutuhkan dalam proses kreatif, yaitu menulis atau menggambar. Menulis dengan demikian merupakan pekerjaan kreatif pertama dan utama yang penting bagi pembelajar. Sedangkan bicara adalah tahapan belajar terakhir, yaitu mengkomunikasikan pengalaman. Segera perlu dicatat bahwa siklus belajar ini digerakkan oleh sebuah siklus lain, yaitu siklus kebenaran bukti-cari-tegak-sebar. Artinya, praktek adalah membuktikan kebenaran, membaca adalah mencari kebenaran, menulis adalah menegakkan kebenaran, sedangkan bicara adalah menyebarkan kebenaran. Kedua siklus ini memperkuat siklus lainnya, yaitu siklus karakter amanah-jujur-cerdas-peduli.
Mendidik dengan demikian dapat diartikan sebagai menumbuhkan kesetiaan pada kebenaran dan keberanian berkarya sebagai bukti dari iman. Sedangkan belajar dapat diartikan sebagai tumbuh amanah, jujur, cerdas dan peduli.
Oleh : Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D